PEMERINTAHAN - Indonesia, negeri dengan bendera Merah Putih yang gagah berkibar, sering kali menghadirkan ironi. Di satu sisi, kita bangga mengaku berani dan suci. Tapi coba lihat lebih dekat, apakah kita benar-benar hidup sesuai janji bendera itu? Atau, jangan-jangan, kita lebih nyaman jadi abu-abu, bingung antara berjuang untuk rakyat atau meraup keuntungan pribadi?
Mari kita bicara tentang keberanian. Berani karena benar. Ini bukan soal berani tampil di televisi atau mengacungkan jari telunjuk saat kampanye. Berani karena benar itu soal siap melawan arus demi memperjuangkan kebenaran. Tapi kenyataannya? Banyak pemimpin kita justru memilih aman. Alih-alih melawan arus, mereka hanyut bersama korupsi dan permainan licik. Bukannya melindungi rakyat, mereka malah sibuk melindungi kursi.
Lalu ada soal kejujuran. Berani karena jujur. Ah, siapa yang tidak suka mendengar pidato-pidato heroik tentang antikorupsi? Tapi tunggu dulu. Berapa kali kita terhenyak mendapati bahwa si pembicara justru tersandung kasus korupsi? Retorika ini sering kali tak lebih dari teater murahan. Pemimpin kita seolah lupa bahwa rakyat tidak bodoh. Kita melihat celah di balik topeng suci itu, dan sayangnya, kita jadi terbiasa kecewa.
Dan ini, yang paling menyakitkan, berani karena bersih. Bersih dari korupsi, kolusi, nepotisme. Katanya sih, ini dasar dari setiap pemimpin yang baik. Tapi di Indonesia? Bersih itu sering kali hanya label, bukan substansi. Di balik layar, mereka yang kelihatan bersih justru sibuk mencuci tangan dari skandal. Negara yang harusnya jadi pelindung rakyat malah berubah jadi sarang para "pengusaha kekuasaan."
Coba pikirkan ini: pemimpin bicara lantang soal membasmi judi dan pinjaman online ilegal, tapi ternyata mereka sendiri yang jadi "bandar." Bicara soal melawan korupsi, tapi diam-diam mengisi rekening mereka dengan uang rakyat. Negara gangster, itulah yang terjadi. Siapa yang menjilat akan dirawat, siapa yang melawan akan disingkirkan. Berani benar? Tidak, yang ada hanya berani menyingkirkan siapa saja yang mengancam kekuasaan mereka.
Indonesia, sayangnya, terjebak dalam kepemimpinan abu-abu. Abu-abu itu artinya tidak jelas: tidak benar-benar hitam, tapi jauh dari putih. Pemimpin abu-abu membuat rakyat bingung dan ragu. Ketika mereka bicara, rakyat bertanya: "Benarkah ini untuk kami, atau hanya demi mereka sendiri?" Bukannya membawa harapan, mereka malah menjadi simbol kemunafikan.
Baca juga:
Berkunjung ke Aceh Barat
|
Tapi apakah kita hanya akan diam? Apakah Merah Putih hanya akan menjadi simbol yang kita lihat di bendera, tanpa pernah benar-benar kita hidupkan? Tidak! Indonesia butuh pemimpin yang berani menjadi Merah Putih, berani karena benar, berani karena jujur, berani karena bersih, dan berani memperjuangkan rakyat. Kita butuh pemimpin yang tidak hanya berslogan, tapi benar-benar bertindak.
Bayangkan negeri ini dipimpin oleh seseorang yang konsisten. Tidak ada lagi ketakutan akan pengkhianatan. Tidak ada lagi permainan politik kotor. Hanya ada keberanian, kejujuran, dan tekad untuk membangun Indonesia yang adil dan makmur. Bukankah itu yang kita harapkan?
Jadi, mari kita bangkitkan semangat Merah Putih. Jangan biarkan pemimpin abu-abu terus memimpin kita dalam gelap. Karena rakyat Indonesia pantas mendapatkan pemimpin yang berani menjadi terang. Pemimpin yang bicara untuk kita, bukan untuk dirinya sendiri. Pemimpin yang menjadikan Merah Putih lebih dari sekadar bendera, tetapi sebuah janji yang ditepati setiap hari.
Saatnya Merah Putih kembali hidup, dan abu-abu hanya tinggal cerita lama.
Jakarta, 23 November 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi